Kamis, 16 April 2009

mencari keturunan ku...

orang Bugis percaya Napoleon Bonaparte sebenarnya seorang passompe’ (perantau) Bugis. Paling tidak, dia orang Makassar. Atau orang Pangkajene, yang berbudaya campuran Bugis-Makassar. Sebab nama Napoleon Bonaparte sebenarnya adalah “Nappo daeng Leong, battu ri Bonerate” (Nappo Daeng Leong, yang berasal dari Bonerate3)

Bonerate adalah nama sebuah tempat di Pulau Selayar.

Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.4

Tanah Maregge5. 5 Australia Utara dalam sebutan orang Bugis, Makassar dan Mandar yang dulu bebas berlayar, menangkap ikan, dan berdagang dengan penduduk asli Australia Utara, sebelum benua Australia dikuasai oleh Inggris.

Ketiga ujung itu adalah ujung lidah, ujung penis, dan ujung badik.

Saya menjadi passompe di Tanah Maregge’, hanya berbekal ujung pertama dari tallucappa’ (tiga ujung) yang merupakan bekal perantau Bugis dan Makassar6. Ujung yang kedua saya bawa juga, tapi tidak saya sarungkan sembarangan, sebab saya juga tidak suka kalau ‘sawah’ saya dibajak orang lain. Sedangkan ujung ketiga sudah lama tidak saya bawa, semenjak petugas sekuriti di bandar udara Zurich di Swiss, menyita badik yang waktu itu saya bawa dalam ransel saya, pemberian kawan saya, Sinansari Ecip, orang Madura yang lebih Bugis dari pada orang Bugis. Seperti juga Dias, Ecip juga mengajar di Universitas Hasanuddin (Unhas), tempat saya dipelonco tahun 1964.

Cornell, Milton L. Barnett (alm.). Menurut Milt, begitu kami biasa memanggilnya, dalam mempelajari lika-liku kebudayaan suatu kelompok, komunitas, atau suku bangsa, kita harus berhati-hati terhadap ‘the danger of going native’, atau “bahaya menjadi lebih ‘asli’ ketimbang orang asli”.

Salah satu hal yang penting digarisbawahi adalah keterangan Pelras bahwa konsep siri’ dalam filsafat hidup orang Bugis, sesungguhnya tidak berdiri sendiri, melainkan ada ‘pasangannya’, yakni pesse’, atau lengkapnya, pesse’ babua, yang berarti “ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri”. Jadi di samping harga diri orang Bugis yang begitu tinggi, mereka juga memiliki empati terhadap penderitaan tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial. Alangkah indahnya bunyi pepatah: pauno siri’, ma’palete pesse’ ri pa’masareng esse’. Atau, “kehormatan bisa menyebabkan kematianmu, dan rasa iba bisa membawamu ke alam baka”. Maksudnya, antara siri’ dan pesse’ harus tetap ada keseimbangan agar bisa saling menetralisir titik ekstrim masing-masing

pandangan “dari dalam” (emic) dan “dari luar” (etic).

mendukung federalisme, dan dengan demikian menolak faham unitarianisme

Sampai ada pemeo, “di mana ada asap ke luar dari hutan, di situ ada orang Bugis sedang menggergaji”.

sarung Mandar lebih bagus dari pada sarung Bugis. Baik dari sudut kehalusan, pewarnaan, motif, dan ke-tidak-luntur-annya.

dalam Lontara’ Pappasang Gowa terdapat pesan berikut dari I Mangadacingi Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri Gowa (1639-1653) (Abidin 1983: 166-7): Ada lima sebab sehingga sebuah negeri rusak.

Pertama, kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.

Kedua, kalau tak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.

Ketiga, kalau para hakim dan pejabat kerajaan makan sogok.

Keempat, kalau terlampau banyak kejadian besar dalam suatu negara.

Kelima, kalau Raja tidak menyayangi rakyatnya.

Jusuf Kalla, sebagai putera Bugis yang sekaligus to-acca, to-panrita, dan to-sugi, orang pintar, orang saleh, dan orang kaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar